Spesial Sinopsis : Hitam Diatas Putih
Penulis : Bunga Rosania Indah
1 bulan yang lampau…
“Yogi, kamu harus menikah dengan calon pilihan mama!”
“Aku lain cak hendak Ma, aku sudah n kepunyaan pacar!” Tolak Yogi.
“Ah inai-pacarmu sejauh ini nggak suka-suka nan jelas, gonta-silih! papa sama mama pusing.” Si mama geleng komandan mengaram watak sang putra.
“Lalu mama miskin benar ingin aku menikahi kelihatannya?” Tanya Yogi marah.
“Dia anak mendiang sahabat papa,” Boke Yogi ikut angkat bicara.
“Lalu?” Yogi mulai malas menimpali.
“Papa berhutang karakter pada almarhum teman papa itu, demi menyelamatkan papa sira meninggal, padahal sira mempunyai seorang anak upik nan masih kecil ketika itu. Dalam diri boke berjanji saat kalian besar nanti, kalian akan kunikahkan,” sebut sang papa yang sekarang terbaring di ranjang rumah sakit.
“Pokoknya Yogi nggak mau, Pa!” Bentak Yogi. Mama Yogi pula menangis mengawasi putranya yang menunda perjodohan itu.
“Yogi! Selama ini, apapun permintaanmu papa turuti, mungkin umur boke tidak akan lama sekali lagi, kedang hanya minta satu, nikahilah Latifa. Kasian kini dia yatim piatu, ibunya yunior saja meninggal 3 bulan yang lewat. Latifa mungkin anak desa lain seperti teman-teman wanitamu yang lain, tapi anak itu baik Yogi. Papa optimistis kamu bisa bahagia bersamanya,” kata papa bersedih.
***
Malam pasca- acara ijab kabul, Yogi memboyong berbarengan Latifa ke rumahnya, sekitar 4 jam perjalanan dari flat ibu bapak Yogi. Pikir Yogi, jika ia ki ajek di rumah orangtuanya maka akan lebih sulit untuk Yogi jikalau kedua orangtuanya memaksa program wulan madu mereka. Sejauh perjalanan Yogi tak adakalanya mengajak wicara Latifa. Malah Yogi merasa dahulu sebal dengan Latifa. Sesekali Yogi melirik perempuan di sampingnya itu dengan pandangan karikatural dan enggan.
‘Kampungan banget sih cara berpakaian nih cewek, hmm dapat menciptakan menjadikan aku malu, namanya Latifa, cak kampungan banget, kampungan!’ Yogi tak nangkring mengumpat dalam lever. Latifa nan memakai rok tataran denga komandan gamis, serta rambut dikuncir satu, tanpa memakai hiasan apapun, membuat Yogi tak suka. Yogi sepatutnya ada pria yang baik belaka karena ia momongan terakhir dan keluarganya terbiasa menuruti apapun permintaannya, menjadikannya kurang aleman.
“Kita sudah sampai, ini rumahku, Latifa.” Yogi invalid ber basa-basi.
“Ifa, panggil tetapi Ifa,” ucap Latifa.
“Ya. Masuklah,” ajak Yogi. Melihat persiapan Ifa nan lamban membuat Yogi gregetan, “Ayolah cepat adv minim, aku tak lemak jikalau ada setangga yang melihat,” kata Yogi sekali lagi. Ifa pun berusaha cepat tapi karena tiga barang bawaannya memadai berat membuat langkahnya melambat. Ifa masuk ke apartemen dinas suaminya itu kerjakan permulaan kalinya. Yogi tinggal di sebuah rumah maktab di sebuah asrama tentara. Yogi yaitu sendiri angkatan bersusun Sertu. “Ini kamarmu Ifa. Aku harap kamu tak misinterpretasi dengan akad nikah ini, dengan menyetujui keputusan orangtuaku lakukan menikahimu bukan bermakna aku setuju bagi vitalitas denganmu,” ucap Yogi ketus.
“Iya aku mengerti Mas.” Ifa mendesah, mengerti posisinya. Kemudian masuk ke sebuah kamar berukuran mungil di arah kamar Yogi, ia menaruh barang-barangnya di kamar berukuran 3×3 itu.
“Alhasil aku mendapat tempat lewat,” ucap Ifa gemar. Terdengar Yogi dari kamar sebelah semenjana menelpon seseorang. “Aku tahu ini perjodohan yang terpaksa. Aku sadar diri dengan hal ini. Lain apa, aku harus bertahan sampai tiba waktunya.” Ifa mengencangkan dirinya memulai sesuatu yang mentah dalam hidupnya. Sepatutnya ada Ifa kembali terdesak mau menerima perjodohan berpunca orang tua Yogi, sepeninggalan ibunya, Ifa jadi tidak punya rumah silam, karena rumah tempat ia dulu suntuk juga sebuah flat dinas. Saat ayah Ifa meninggal, sebenarnya keluarganya pun sempat akan di usir berusul apartemen itu namun karena izin, maka Ifa dan ibunya pun diperbolehkan sementara tinggal di rumah itu. Sekarang sepeninggalan ibunya, Ifa bingung akan tinggal dimana juga, kemudian orangtua Yogi pun cak bertengger membicarakan mengenai pernikahan, Ifa berpikir jika ia memufakati pernikahan itu, ia akan dapat flat dulu dan ia boleh meneruskan kuliahnya yang doang tinggal beberapa bulan lagi sebelum ia lulus syarah. Lagipula Ifa tahu bahwa Yogi dulu menentang ijab kabul itu, Ifa merasa itu suatu kebetulan karena kalau engkau tinggal bersama Yogi, Yogi yang tak menaksir keberadaannya lain mungkin menyentuhnya, sehingga engkau bisa tenang silam di flat Yogi itu sampai waktunya kamu lulus kuliah dan akan mulai spirit mandiri.
***
Tok. Tok. Tok.
Latifa mengetuk ki kamar Yogi.
“Ya. Ada apa?” jawab Yogi dari dalam kamar.
“Bangun Mas, mutakadim pagi. Mas Yogi nggak dinas?” Cak bertanya Ifa.
Yogi keluar bersumber kamarnya. “Kamu tidak usah mencampuri urusanku, aku berangkat biro maupun enggak, bukan urusanmu,” kata Yogi dengan nada ketus. Pemuda berjangat sawo itu lantas berlalu ke sebelah kamar mandi. Setelah Yogi keluar dari kamar mandi, dia melirik heran di atas meja makan mutakadim cawis sarapan untuknya.
“Ifa, kamu tak usah menyiapkan apa-segala, aku tak biasa makan pagi pagi.”
“Sarapan pagi bagus Mas sebelum memuali aktivitas pagi sampai siang.” Ifa berusaha menerangkan, namun rajin, Yogi sampai-sampai semakin menjadi murka.
“Kubilang tidak ya bukan!” Bentak Yogi.
Ifa terdiam, sedikit mendesau kesal namun masih privat garis kesabaran, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Sejumlah detik, Ifa keluar keluar dengan selembar kertas dan sebuah pulpen.
“Aku ingin kita bicara sejenak Mas.” Congor Ifa sedikit mengimpitkan.
“Aku tak cak semau musim!” balas Yogi acuh.
“Aku tahu Mas Yogi tak menghendaki pernikahan ini dan kehadiranku, aku tahu itu semua.” Ifa menyerahkan kepingan kertas dan pulpen kepada Yogi, “ Ini…”
“Apa maksudnya ini?” Pertanyaan Yogi.
“Ini manuskrip perjanjian pernikahan dan perceraian kita.” Pembukaan-introduksi Ifa semakin tegas, musik bicaranya lagi lain gentar. Yogi tampak risau.
“Mas Yogi enggak usah merayang, 6 rembulan lagi aku lulus mulai sejak kuliahku, saat itu aku bersedia Mas Yogi menceraikan aku. Terserah apapun alasan perceraian itu, aku akan menyetujuinya.” Ifa meyakinkan lawan bicaranya.
“Kamu pikir dengan begitu masalah ini akan radu? Lalu bagaimana dengan orangtuaku? Mereka tinggal berharap dengan pernikahan ini. Jika aku menceraikanmu tanpa alasan yang jelas tentunya orangtuaku akan marah besar padaku,” ujar Yogi.
Ifa menggelandang sabar, guratan bibirnya mengatub sesaat, “Baiklah, saat perceraian itu, tuduhlah jika aku yang telah berselingkuh, sehingga orangtua Mas Yogi pasti akan menyetujui perceraikan itu.”
Yogi kembali tertumbuk pandangan nanang, bola matanya mengisyaratannya.
“Mas Yogi tak usah khawatir. Aku bukan akan meminang se-sen pun berbunga gajimu, aku enggak akan mengelola urusan pribadimu, aku hanya numpang hidup disini sebatas saat itu tiba, Mas Yogi tak terlazim menganggap aku gula-gula. Kelihatannya, kalau Mas Yogi bersedia, anggaplah aku seorang… teman.” Ifa meledakkan senyum pertemanan di wajahnya.
“Baiklah aku sejadi dengan perjanjian ini.” Yogi menandatangani lawe kertas yang sebelumnya sudah di tandatangani Ifa.
“Ya. Aku dulu akseptabel kasih padamu Mas. Laksana balasan atas arti hatimu menerimaku di kondominium ini, aku akan tetap melakukan jalan hidup apartemen dan menyiagakan makan,” sebut Ifa sebelum ia cekut kertas perjanjian itu dan masuk ke kamarnya.
Di internal kamar yang kecil itu, yang hanya terdapat sebuah kasur dan lemari, Latifa bersandar pada tembok dan menangis sedih, batinnya menyeringai pilu. “Ayah… kenapa ayah pergi secepat-cepatnya ini, sejauh ini aku dan ibu vitalitas menderita…” ucapnya serempak menghapus air matanya. Terasa kosong hidup minus kedua orang tuanya, ia harus berjuang sendiri demi kelangsungan hidupnya. “Ibu… Ibu sekali lagi meninggalkanku, aku merasa sebagai halnya sesuatu yang bukan signifikan di sini, tak ada yang sayang Ifa lagi. Ifa rindu ibu.” Latifa terisak duduk bersandar, semua terasa dingin dan membekukan keberadaannya. Tangisan Ifa tak berlanjut lama, ia menghela nafas strata untuk membuang semua asanya dan menghapus air matanya. “Aku tak boleh begini. Aku harus kuat, harus bisa menjadi pribadi yang plonco. Aku harus berusaha menjadi seorang inversi yang baik untuk Mas Yogi.” Ifa memotivasi dirinya sendiri, dengan menjalin tali pertemanan yang baik, sekurang-kurangnya dapat memudahkannya melintasi musim yang asing di rumah Yogi.
Sekitar jam secabik tiga, Yogi pulang dinas. Karena lokasi kantornya lain jauh letaknya dari asrama tinggalnya, Yogi pun memilih berjalan kaki bersama Dani, teman karibnya, apalagi mereka sama-sama suatu litting.
“Gi, katanya kemarin kamu jalinan, kok nggak ngundang-ngundang?” Tanya Dani.
“Ah, itu sekadar program batih cuma kok Dan, cuma akad ikatan.” Yogi nampak indolen membahas.
“Lalu mana istrimu sekarang?” Tanya Dani.
“Ya sekarang silam sebanding aku,” jawab Yogi.
“Sepertinya engkau tak senang dengan pernikahanmu itu, Gi?” Dani bisa mendaras mulai sejak sikap dan cara bicara sahabatnya itu.
“Iyalah Dan, kan kamu sempat koteng, aku masih pacaran dengan Renita. Lagipula aku dan Latifa, hmm… Ifa ketel hanya dijodohkan, tak lama juga aku akan berjauhan dengannya,” ujar Yogi enteng.
“Kok gitu Gi? gampang banget sih kamu main ceraikan momongan orang, emang kenapa kamu tak menyukai istrimu itu?” Dani menatap heran sahabatnya.
“Ya, entahlah aku bukan suka, gayanya jadul banget, nggak sejadi ama seleraku.”
Dani menepuk pundak Yogi, ”Ah, semprul sira Gi, sedangkan Renita menurutku standar-standar aja. Cuman karena anda memiliki rambut panjang lurus itupun hasil olahan salon, ya emang sih Renita itu modis.”
“Membabi buta aja kamu biji cewekku, Dan. Kalau aku melepaskan Renita sekarang, martabat lah. Lalu aja aku sanding berlinyak sama sang Haris gara-gara memperebutkan Renita.”
“Hahaa, kamu kayak anak ABG aja Gi. Inget atma dong!” ledek Dani.
“Oh, ya, Dan, tapi ini rahasia ya… ” Yogi memelankan nada suaranya.
“Apaan?” Dani tiba penasaran.
“Hmm, sebenarnya… pernikahanku hanya 6 wulan saja,” kisik Yogi.
“Maksudnya gimana Gi?” Dani setengah melotot mengerti pengenalan-perkenalan awal Yogi.
“Aku dan Ifa mutakadim sejadi dalam sebuah perjanjian pernikahan hitam diatas asli, selepas 6 wulan akad nikah kami memutuskan akan bercerai,” bisik Yogi pula.
“Gila kamu Gi, nikah kok dibuat permainan.” Dani menggeleng mengaram tingkah Yogi. Enggak berapa lama Yogi dan Dani sekali lagi sampai di depan rumah Yogi. “Gi tuh cak kenapa ada cewek di depan flat kamu? cewek nan mana lagi tuh. Gila, baru mungkin ini liat cewek mulus banget, cantik banget.” Dani berdecak kagum. Yogi pun heran, Yogi dan Dani terusik rasa penasarannya lakukan mengawasi bertambah karib ke arah amoi nan berdiri di depan flat Yogi itu. Perempuan berambut sebahu, pakai rok jeans pendek, kemeja bugar body dan Wedges High Heels. Perempuan yang menjadi perhatian itu membalikkan tubuh dan membuat Yogi serta Dani terkejut.
“Eh, Mas Yogi sudah pulang,” tutur perempuan itu yang tak lain adalah Latifa.
“Ifa?” Yogi heran melihat sosok Ifa yang berbeda.
“Gi, itu istrimu? Gila cantik banget, kok kamu bisa bilang kecenderungan dia jadul? modis gini kok di sejumlah jadul, ni sih artis asia. Aku heran ekuivalen seleramu Gi,” kisik Dani.
“Iya Mas, ini Ifa bingung mau nitipin kunci rumah sama mana tahu, soalnya Ifa mau menyingkir dulu Mas. Ada lektur praktek senja.” Ifa mencuil kiat dari saku busana jeans pendeknya. “Kebetulan Mas Yogi sudah pulang, ini kunci rumahnya ya Mas.” Ifa menyerahkan kancing rumah pada Yogi.
“Hai Ifa, salam kenal ya. Aku Dani tampin satu litting Yogi. Kamu istrinya Yogi ya?” Dani melancarkan persuasi basa-basinya.
“Iya Mas Dani, salam kenal ya. Latifa. Oh, ya, Ifa adeknya Mas Yogi mengapa,” kelakar Ifa sembari mesem. Dani sekali lagi tertawa mendengar candaan gadis berhidung mancung di hadapannya.
“Ok deh, Ifa berangkat lektur dulu ya Mas Dani, Mas Yogi..bye-bye…” Ifa berlalu sambil melambaikan tangan dan mesem riang. Yogi enggak sempat berfirman barang apa-segala apa, dapat di bilang engkau termenung meluluk sebelah lain dari istri yang di nikahinya secara terpaksa.
Latifa menghentikan langkahnya, engkau berbalik, “Oh, ya, Mas Yogi, Ifa pulang jam secabik 7 malam ya, lauknya di panasin jangan hingga basi lho,” teriak Latifa nan sudah lalu berjalan sepan jauh. Ifa berusaha membuka kepingan pertemanan dengan Yogi, kiranya sepanjang 6 rembulan kedepan mereka tak ganti ada beban karena hidup se-atap. Itu sebabnya Latifa berusaha bikin lebih akrab dengan Yogi.
“Gi, kalau kamu sudah resmi bercerai beritahu aku ya, hahahaa,” introduksi Dani seraya berjalan pergi untuk pulang ke rumahnya.
“Kutu Kupret kamu Dan, hahaa,” balas Yogi tertawa.
***
Tepat martil 18.30 Latifa mulai di rumah.
“Assalamu Alaikum,” teriak Latifa, kemudian masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Yogi dan Dani secara bersamaan.
“Malam Dek Ifa,” Sapa Dani bermegah cute.
“Dek???” Yogi membeo mulut Dani, Yogi terkekeh karena Dani menyapa Ifa ‘Dek Ifa’. “Ah kamu Dan, bergaduk akrab kamu!” Ejek Yogi.
“Lho Mas Dani ada disini rupanya,” ujar Latifa ramah.
“Iya Dek Ifa, kebetulan TV di rumah rusak, jadi mau ikutan nonton TV disini, hehee.”
Yogi menyenggol Dani, “Ah, alasan aja sira, Dan,” ejek Yogi lagi.
Ifa tertawa, “Mas Dani ini orangnya membawa gelak.”
Dani cengengesan sambil mencakar-garuk rambut di kepalanya.
“Yaudah Mas Dani, dilanjut deh nonton TV-nya, Ifa ingin ke kamar dulu,” minta diri Ifa.
“Oh, ya, Mas Yogi sudah bersantap?” Latifa menghentikan langkahnya sesaat. Ia berbalik.
“Iya sudah,” jawab Yogi segan, Ifa tersenyum lalu turut kamarnya.
Tak berapa lama Ifa pun keluar dari kamarnya menuju kamar mandi, sekeliling 15 menit Ifa keluar bersumber kamarnya dengan surai yang basah lalu masuk lagi ke kamarnya. Kemudian Ifa kembali keluar berasal kamarnya dengan memakai celana jeans pendek dan t-shirt berlengan pendek sambil membawa Laptop. Beliau menaruh Laptopnya di atas kenap makan dan duduk sedarun memainkan Laptop itu. Ifa seram dari wadah duduknya dan masuk lagi ke kerumahtanggaan kamar mengangkut sebuah buku.
Dani menyikut lengan Yogi, “Gi, kamu nggak pusing tatap nona cantik bolak-balik di rumahmu?” Kisik Dani.
“Ah, beliau berisik, yuk maen PS aja Dan,” Yogi mengalihkan pembicaraan.
“Bawah sira Gi. Oh, ya, Gi, kok tadi siang dia beberapa Ifa dandanannya jadul? Kamu nggak sedang sakit mata teko Gi?” Bisik Dani lagi.
“Kemarin itu emang dandanannya jadul banget mengapa Dan, ala insan desa. Pakai pakaian perca janjang, atasannya lagi. Aku pula nggak tahu.” Yogi mengambil stik PS sewaktu menekan kenop select.
“Siapa pas kemarin itu Ifa hanya kepingin berpenampilan sopan di depan orangtuamu saja kali Gi.”
Yogi mengangkat bahu. “Tau ah ilegal,” timpal Yogi cuek.
Secara seketika, Ifa dari arah belakang menepuk pundak Yogi dan Dani. “Hayoooo lagi ngomongin segala apa nih bisik-kisik.” Suara miring Ifa mengagetkan keduanya, Yogi dan Dani spontan terhentak.
“Astagfirullah. Dek Ifa untuk kaget doang,” kata Dani sambil menyapu dada.
Latifa terkekeh, “Pun ngomongin apa sih Mas, kayaknya serius banget.”
“Nggak ada apa-apa kok dek,” ujar Dani malu.
Alunan irama dering ponsel Yogi berbunyi. Latifa melirik, “Mas Yogi, tuh HP-nya bunyi, pasti semenjak yayang nih, hehee,” ledek Ifa.
“Ah, hmm, ya Fa,” jawab Yogi kaku, sebelum ia membidik kamarnya buat menyanggang telepon yang memang semenjak Renita, kekasih Yogi.
“Dek Ifa sudah tahu Yogi memiliki pacar?” Cak bertanya Dani bingung.
“Ooo, iyalah Mas, Ifa udah tahu kok.” Latifa tersenyum datar.
“Lalu… nggak ada persaan apa-apa gitu?” periksa Dani lagi.
“Perasaan barang apa Mas? Ifa setolok Mas Yogi itu perasaannya seperti saudara aja,” ucap Ifa sembari tersenyum.
“Cak kenapa aneh, aku jadi bingung.” Dani mengerutkan dahinya.
Latifa tersenyum gempal, “Mas Dani nggak usah gagap. Ini, Mas Dani lagi main PS kan? yuk tanding lawan Ifa, maen bola ya.”
“Lho Dek Ifa boleh maen PS? ayo boleh jadi merembas. Mas Dani Juventus ya,” ujar Dani bersemangat, kemudian memberi stik PS satunya ke Ifa.
“Ifa pastinya… Barca!!” Teriak Ifa senang. Mereka berdua pun asik tanding PS.
Yogi melihat bermula balik gerbang kamarnya, Ifa dan Dani tertawa-tawa bersama-sama maen PS. Yogi makara bingung dengan kepribadian Ifa. Seperti apa engkau sebenarnya Ifa, pikir Yogi.
Sekitar jam 9 lilin batik Dani baru pulang berusul rumah Yogi. Ifa menyinambungkan memainkan Laptopnya. Sementara Yogi medium menonton TV sambil sekali kali SMS-an dengan Renita. Dan terkadang pun Yogi mengerling Ifa nan serius menatap jib laptopnya.
“Ternyata Ifa anak adam yang baik, apakah kemarin aku keterlaluan,” pikir Yogi. Yogi berjalan ke arah meja makan dan duduk di depan Ifa.
“Sibuk barang apa Fa?” Soal Yogi.
“Oh, ini Mas. Ifa sibuk catetin titipan,” jawab Ifa sambil tetap fokus lega jib monitor laptopnya.
“Pesanan?”
Ifa mengangguk, “Iya Mas, Ifa dah lama marketing tas branded dan sepatu-sepatu korea, tapi Ifa pasarin online. Lumayan lakukan nambah-nambah uang jasa khotbah Mas,” pengenalan Ifa sekali lalu tersenyum. Di hari ini fashion korea masih sangat selit belit, itulah sebabnya menggandar Ifa sukses dipasarkan.
“Oh, gitu. Selama ini kamu orasi berusul hasil dagang online itu ya?”
“Salah satunya, sebagian karena bea siswa. Tapi takdirnya mengandalkan itu belaka tak cukup. Seandainya pas weekend atau liburan semester Ifa kerja dalih.”
“Hmm. Oh, iya, Ifa, aku minta maaf ya atas kejadian kemarin, siapa aku sudah kebangetan.” Yogi tersenyum.
“Ah, nggak apa-barang apa Mas. Take easy aja kalau sama Ifa.” Ifa menyaingi suam senyuman Yogi.
Yogi tertunduk sesaat lalu memandang Ifa dan berkata, “Hmm… Ifa, kita bisa menyedang beteman.” Ifa mesem sintal, senang karena Yogi sudah bisa mengakuri keberadaannya sebagai teman.
***
Pagi hari Yogi terbina, engkau mengambal jam weker di meja sebelah tempat tidurnya. Dia kemudian bangun dan keluar kamar. Flat sunyi. Yogi melangkah ke kamar bersiram. Matanya tertuju lega selembar kertas yang tertempel di ki kulkas.
“Mas Yogi. Ifa ada kuliah pagi, sarapan sudah lalu Ifa siapkan di meja makan, thank’s,” tulis Ifa di secarik kertas berwarna kuning.
Yogi melihat sepiring nasi goreng telur diatas meja dan segelas susu coklat. Ia minus terkejut, “Kok kebetulan banget ya, dia tahu aku suka tetek coklat.” Yogi tersenyum heran tinggal melangkah masuk ke kamar bersiram.
***
Sudah 3 jam Ifa menunggu di depan ki, teras depan apartemen pun masih gelap. Ifa duduk dan bersandar di depan gerbang kondominium nan terkunci itu. Karena Ifa tidak sempat nomer HP Yogi, ia pun bingung harus menghubungi barangkali, Ifa pasrah saja menunggu di depan portal.
“Spirit orang menumpang,” ucap Ifa sedih. Nyamuk start mangkat ilalang di teras. Suara mobil Yogi pun terdengar, Yogi kejar-buru keluar dari mobilnya.
“Maaf, kamu sudah lalu menunggu mulai sejak tadi ya?” Yogi grusa-grusu membuka kunci pintu.
“Lumayan Mas,” balas Ifa, ia mendesah kesal.
“Iya tadinya aku mau meletakkan kunci ini suntuk tapi karena terburu-kejar aku kaprikornus lupa, soalnya tadi Renita telepon dan meminta aku menjemputnya,” ujar Yogi.
Minus menanggapi perkataan Yogi, Ifa pun langsung masuk kondominium dan membidik kamarnya. Ifa merebahkan diri di kasur tanpa ranjang itu, lalu duduk dan membebaskan sepatu high heels jenis platform itu.
“Aku sedikit kesal karena terlalu lama menunggu, tapi yasudahlah. Aku mau tidur sejurus menyurutkan amarahku.”
Cukup lama Ifa tertidur, ia terbangun tepat jam 12 malam. Ifa pulang ingatan lalu duduk di sisi tempat tidurnya. “Astaga… sudah jam segini, aku pangling masih ada tugas buat praktek kemudian hari.” Ifa bergegas bangun. Setelah mencoket sejumlah muslihat, ia kemudian melangkah menuju ira tengah. Ifa duduk di depan TV tanpa menyalakan TV tersebut karena histeris Yogi terbangun jika mendengar kebisingan. Ifa membaca beberapa sosi kuliahnya, sesekali dia mencatat.
“Kok lapar ya, hmm, gurih nih jikalau bagi mie ki menggarap,” kata Ifa. Ifa membelakangkan memuaskan perutnya sebelum lagi melanjutkan mengerjakan tugas prakteknya, engkau melangkah ke dapur dan mulai memantek. Saking asiknya anda memantek, Ifa tak ingat takdirnya Yogi berada di belakangnya. “Ifa…” Panggil Yogi.
“Aaaaaaa, hantuuuu,” teriak Ifa terkejut.Yogi kemudian tertawa. “Ini aku,” kata Yogi.
“Ya ampun Mas Yogi sejak kapan disini?” kata Ifa lega.
“Barusan cak kenapa, kamu semenjana apa?” Yogi melongokkan kepalanya, melirik sepanci boncel di atas perbaraan.
“ Ifa lapar Mas, ini bikin mie godok, Mas Yogi ingin?” Mansukh Ifa.
“Boleh deh,” balas Yogi. Ifa pun menyiapkan dua mangkok mie godok lalu membawanya ke bidang datar makan. Ifa dan Yogi menyantap mie godok itu, kerjakan pertama boleh jadi mereka kreatif di satu bidang datar makan secara bersama.
“Enak lagi.” Yogi meranggah mie tiruan Ifa. Ifa hanya tersenyum.
“Oh, ya, Ifa, aku harap maaf ya tadi. Hmm, besok aku gandakan kunci rumah,biar kita bopong tiap-tiap saja.”
***
Pagi itu Ifa berangkat kuliah setelah Yogi berangkat dinas. Ifa mengunci pintu flat suntuk menyempilkan anak kunci rumah itu di bawah keset yang bertuliskan kata WELCOME, karena Yogi siang jemah akan menggandakan resep. Ifa berjalan melangkah keluar rumah. Ifa tak tengung-tenging menyapa sejumlah ibu-ibu yang ada di sekeliling situ. Lalu berjalan ke arah jalan raya melewati lapangan.
Ifa mencerca kerapian pakaiannya, pagi itu Ifa tampak elegan dengan baju semi kemeja parit hitam hingga di atas dengkul dengan tali pinggang jangat dan sepatu high heels model gladiator. Sebenarnya Ifa tak orang nan boros dan wajib fashionable tapi karena sira sekalian promosikan dagangannya yaitu sepatu dan gaun korea kaprikornus ia menunggangi seorang dagangan sample nan akan dijualnya sekaligus sebagai promosi, karena konsumen Ifa sebagian ki akbar merupakan tara-teman kampusnya sendiri. Rambut Ifa saat ini pun di tata ala wanita korea untuk lebih menopang penampilannya.
***
Pagi itu tanah lapang gempita, serumpun tentara yang sedang melakukan olahraga rutin tergerai berpokok suara instruksi sang pelatih. Terserah yang menarik perhatian mereka pagi itu.
“Ada barang apa sih rame-rame? kok memandangi jalan semua?” Tanya Yogi pada Dani. Dani sekali lagi melihat ke arah urut-urutan.
“Oh itu Gi, mereka pada ngeliatin perempuan lewat,” Dani memicingkan mata bagi boleh melihat lebih jelas apa yang menjadi bahan perhatian teman-temannya.
“Protokoler para jomlo lihat yang mulus dikit udah ngiler,” Yogi terkekeh.
“Lho Gi, itu kan Dek Ifa.” Tunjuk Dani pada perempuan yang medium jadi pusat perhatian teman-temannya itu. Yogi akhirnya menengok ke arah tunjukan Dani, dan ternyata benar sira Ifa.
“Dek Ifa!!” Teriak Dani sekuat tenaga setakat tenggorokannya hampir kering. Dani melambaikan tangan. Ifa sekali lagi menoleh dan mesem membalas lambaian tangan Dani.
“Berangkat kuliah ya Dek?” Teriak Dani juga.
“Iya Mas..Bye…” Ifa membalas teriakan Dani serentak melambaikan tangan dan berlalu.
“Dani kamu kenal upik tadi?” Tanya Rudi.
“Engkau Kenal Dan? tumben kamu kenal upik cantik, hahahaaa,” Ejek Edo bercanda.
“Semprul kamu Do!” Dani memongahi Edo lapangan.
“Ah, jangan marah dong Dani, aku mau dong di kenalin ama kuntum tadi,” Edo merajuk.
“Enggak-enggak, bukan kelas kalian,” tutur Dani lalu menyingkir meninggalkan koleksi ngiler itu. Yogi sedari tadi namun terdiam dan menatap keberangkatan Ifa. Kamu menelisik apa yang menjadi sesuatu di dalam bathinnya. Mencari jawaban keberadaan Ifa.
***
Malam menjelang meninggalkan mentari nan sudah terbenam. Ifa dan Yogi makan malam memuati perut mereka nan sesungguhnya tidak semacam itu lapar, Dani kembali nomplok bertamu.
“Ikut Mas Dani,” teriak Ifa.
“Eh, lagi plong makan ya?” indra penglihatan Dani berkililing diatas meja makan.
“Sini masuk makan Mas, Ifa ambilkan piring ya?” Ifa beranjak.
“Bisa Dek Ifa, kebetulan jingkir di flat lagi busuk kaprikornus nggak boleh matang dan belum makan, hehee” introduksi Dani kegirangan.
“Kamu Dan, kamarin TV tembelang, sekarang kompor rusak, belakang hari sekalian tempat tidurmu kemungkus meski dapat tidur disini kan?” cibir Yogi.
“Bisa Gi idemu, besok aku tidur disini ya, diruang tamu juga dapat, hehee,” Dani pringas-pringis.
“Ah tidak-tidak, dia ini alasan aja. Ada maunya,” n sogokan Yogi.
“Hehehe,” tawa Dani.
“Sudah-sudah, yuk makan dulu Mas, ini piringnya,” Ifa mengemukakan piring ke Dani. Mereka bertiga pun makan bersama.
“Weh enak ya masakannya Dek Ifa,” pembukaan Dani sambil mengambil beberapa ikan setakat piringnya penuh.
“Dan, sira kira-kira dong, masa semua di embat juga!” Yogi mencelang.
“Hehehe, iya maap-maap.” Dani memasang tampang melas, Ifa juga tersenyum kecil.
Setelah makan malam, Ifa membersihkan kenap dan piring lalu turut ke dalam kamarnya. Sementara Yogi dan Dani sedang ngobrol di depan TV.
“Napa Gi? kayaknya durja kamu suntuk banget.” Dani mengintai Yogi yang sibuk SMS-an dan mencoba menerka-nerka dari wajah Yogi.
“Ini Renita, tiap hari kerjanya ngambek mulu, Dan. Dikit-dikit ngambek, tadi aja dia mohon jemput tapi aku nggak boleh, eh dia marah,” ratap Yogi.
“Ah, Renita lagi, Renita lagi, illfeel aku liat cewek keberagaman gitu, ngambekan, nyenengin lain, ngeselin iya. Emangnya cowok itu supir antar jemput apa!” Ujar Dani sinis.
“Tau ah, oh, ya, Dan kamu akan datang siang ikut aku ya ke kampusnya Renita,” pinta Yogi.
“Ngapain? males ah!” tolak Dani tak berselera.
“Yah, please dong Dan. Temen Renita si Niar tuh tentara holic, kamu harap Renita nyomblangin pasangan aku ama si Niar, temen Renita itu,” perkenalan awal Yogi.
“Ogah ah, cewek jaman saat ini ni tahu aja ya tentara mau dapet remunerasi, ngejar-ngejar mulu!” Dani melengos.
“Ayolah Dan, tolongin aku, engkau nggak nanggapin sang Niar nggak apa-barang apa deh, setidaknya Renita senggang kalau aku udah ada operasi ngajakin dia,” bujuk Yogi lagi.
Keesokan harinya…
“Gi, ni kampus kok rame banget ya?” Dani celingukan di pelataran kampus sebuah Universitar Negri ternama.
“Iyalah Dan, namanya pula kampus, dulu aku kepengen kuliah tapi papaku suruh aku ikut tentara, huh!” Yogi teringat dan menjadi kesal.
“Ngomong-ngomong sira janjian ekuivalen Renita dimana?” Cak bertanya Dani, kakinya terasa pegal lama kelamaan berdiri.
“Tuh di Cafe kampus, jihat sana,” mengacungkan tangan Yogi. Mereka berdua pun berjalan berorientasi Cafe bernuansa spektakuler taruna itu. Seorang putri yang menengah duduk disalah satu meja melambaikan tangan ke arah Yogi. “Nah itu si Renita, Gi.” Dani menangkap kesanggupan puspa hati Yogi. Yogi dan Dani sekali lagi melangkah ke bidang datar tempat Renita.
“Kok jam segini baru nyampe? lelet amat sih,” hardik Renita ke Yogi, wajahnya bersengut.
“Iya tadi rewel dijalan,” Yogi sepiak kesal, sira baru saja sampai dan langsung mendapat makian.
“Oh, ya, ini Niar.” Renita mengenalkan temannya pada Yogi dan Dani.
“Yogi.”
“Dani.”
Yogi dan Dani pun duduk. Mereka berbincang-bincang ringan. Tampak Niar meletakkan hati pada Dani, tapi Dani hanya menanggapinya biasa. Niar lain hentinya mengarang bahwa om-nya, empok-nya, sepupu-nya juga seorang tentara, Niar sangat mengagulkan diri hingga membuat Dani mulai jenuh duduk berlama-lama di kursi itu.
“Ssst, Ren! Tuh para mahasiswi medis datang,” kisik Niar ke Renita.
Renita menoleh dan mencermati sejumlah mahasiswi medis nan selalu menjadi biji pelir bibir di kampus mereka. “Oh itu ya yang kamu ceritakan semalam,” bisik Renita.
“Ada apa memangnya dengan mahasiswi kedokteran Ren?” Tanya Dani penasaran.
“Oh, itu Lho Mas, ada 4 orang mahasiswi medis yang popular di kampus ini, tak kurang mahasiswi bukan yang ngikutin style mereka,” kata Renita.
“Apalagi yang bernama Latifa, dia paling oke dan keren style-nya dan menjadi buah tutur di kampus, body-nya bagus lagi, hmm… buat timburu aja,” kata Niar kagum.
“Latifa??” laung Yogi kaget.
“Iya, namanya Latifa,” ucap Niar membenarkan.
“Yang mana sih?” Tanya Dani.
“Itu lho, yang di kenap pojok sana,” tunjuk Niar menyuruk. “Itu kan itu ada 4 orang cewek tuh, nah yang namanya Latifa itu lho,” Niar menunjuk perempuan berpakaian semi kemeja sungai buatan bercelup hitam dipadu dengan jas dukun bercelup steril.
“Lho itu kan D…” Bukan luang Dani menyinambungkan kata-katanya, Yogi sudah menginjak kaki Dani, mengisyaratkan jangan berkata apapun.
“Mereka itu beneran mahasiswi kedokteran?” Tanya Yogi hampir lain percaya.
“Iya Mas, masa Niar bohong. Tatap aja mereka semua pakai jas putih ala sinse-dokter gitu deh. Setahu Niar, mereka masa ini sedang koas, denger-denger dalam beberapa bulan ke depan, mereka sudah lalu akan di sumpah dokter.”
Yogi dan Dani pula mengerling ke sisi Ifa yang sedang duduk bersama teman-temannya. Baik Yogi maupun Dani terkejut karena sepanjang ini ia belaka tahu bahwa Ifa ceramah tapi tak pergaulan lamar ia mengambil fakultas apa. Yogi menggasak iler, merasakan nafasnya yang masih terkejut.
“Selayaknya Latifa itu sebaya kita usianya lho Ren,” sebut Niar dengan suara minor pelan.
“Oh, ya, tapi kok dia sudah koas ya, sebentar lagi lulus kaprikornus sinse.”
“Iyalah, morong Latifa boleh bea siswa karena IPK-nya tinggi.” Niar kembali memandang perempuan yang sedang engkau bahas bersama Renita.
Yogi melirik ke arah Ifa pula, ia tak mengira, Ifa yang awalnya ia putusan sebagai wanita kampungan ternyata sehebat itu.
***
“Mas Yogi sudah pulang?” Ifa menyelidiki Yogi nan baru namun masuk ke dalam kondominium senja itu.
“Kamu pula sudah cak semau di rumah Fa?” Yogi balas bertanya.
“Sudah dari tadi kok Mas, oh, ya, tadi aku lihat Mas Yogi di kampus.”
Yogi sontak terperanjat, “Engkau lihat aku Fa?”
“Iya Mas, tapi maaf, Ifa nggak sapaan, takutnya ganggu,” kata Ifa tersenyum. “Oh, ya, itu pacar Mas Yogi ya? Cakap Mas.” Ifa meledakkan senyum bogok di wajahnya.
“Hmm, iya,” jawab Yogi singkat. “Ifa, engkau dokter ya?”
“Masih koas cak kenapa Mas.”
“Kenapa lain pernah cerita?” Tanya Yogi pun.
“Memangnya Mas Yogi pernah tanya?” Ifa menjeling bilang detik. Yogi terkejut. Sira mencatat takdirnya ia memang tidak pernah ingin tahu tentang Ifa. Ifa mengaram ekspresi Yogi yang berubah, Ifa pun tak tega. “Ifa hanya bercanda Mas,” Ifa tersenyum untuk melegakan hati Yogi. “Jangan dianggap serius ya.”
Yogi memaksakan senyumnya, ia masih enggak enak lever sreg Ifa. “Abolisi ya Ifa.” Yogi merasa lemak tulang-sumsum penopang tubuhnya sedikit menggigil dan lenyai dan merasa perlu untuk berlabuh, paling enggak. “Aku mau ke kamar lewat ya,” ujar Yogi hasilnya.
“Mas Yogi nggak lemak badan?” Tanya Ifa khawatir.
“Nggak senggang Fa, kepala rasanya pusing dan berat,” ujar Yogi sembari melangkah ke kamar dan hampir terperenyuk. Ifa dengan sigap membantu menopang tubuh Yogi.
“Ifa tolong ke kamar ya Mas,” ujar Ifa prihatin, dahulu kondusif Yogi berjalan. Ifa membantu Yogi berbaring, tinggal mengaras dahi Yogi. “Duh, kok panas banget ya, sejemang ya Mas.” kata Ifa lalu melanglang ke kamarnya mencari obat penurun sensual, tapi sayangnya tak ketemu. Ifa mengambil seteko penuh air steril dan beling kemudian anda panggul ke kamar Yogi.
“Mas Yogi harus banyak mereguk air zakiah ya, hmm, persediaan obat Ifa kebetulan habis. Ifa beli terlampau di apotik ya Mas, hmm, anu, Ifa boleh pinjam kunci mobilnya,” tutur Ifa ragu.
“Kamu bisa nyetir mobil Fa?” cak bertanya Yogi lemas.
“Iya Mas, bisa.”
“Itu, rebut saja di laci itu.” Ifa sekali lagi menyingkapkan laci dan mengambil kunci mobil.
“Oh, ya, Mas Yogi sebaiknya silih rok dulu. Pakai gaun nan nyaman, sebaiknya yang menyerap keringat dan bahannya enggak sesak tebal.” Ifa membagi saran.
“Iya Fa, songsong pemberian.”
Sebelum benar-benar melangkah pergi, Ifa berpikir sejenak. “Hmm, pasti Mas Yogi kesusahan kerjakan merembas menjeput pakaian. Supaya Ifa saja yang siapkan baju Mas Yogi. Ifa permisi beber lemari-nya Mas Yogi ya,” alas kata Ifa, kemudian mengekspos almari Yogi dan memilihkan pakaian yang menurutnya nyaman di pakai Yogi. Baju itu diletakkan di sisi pembaringan.
Sehabis Ifa berangkat ke rumah obat dengan mobil Yogi, jejaka tungkap melihat gaun yang di siapkan Ifa. Ifa sungguh berbeda, kebaikan hatinyalah nan membentuk Yogi terkesan. Selama ini Ifa hidup mandiri, berbeda sekali dengan Renita, pikir Yogi.
***
Sekitar jam 2 malam Yogi terbangun dari tidurnya. Ia merasa badannya sudah enakan pasca- Ifa memberinya pemohon penurun sensual dan antibiotik. Yogi berusaha duduk, mau mencoket beling yang berisi air putih. Namun Yogi terkesiap melihat Ifa tidur dilantai dengan posisi duduk, tubuhnya berpijak ke tembok yang di sangga dengan bantal. Ifa terpicing serta merta menjawat beberapa buku kuliahnya.
“Ifa, bangunlah Fa,” panggil Yogi. Ifa terbangun, ia menusap-sekaan matanya, setelah menguasai kesadarannya pecah mimpi tidurnya, Ifa menoleh ke arah Yogi dan tangannya sinkron mengaras dahi Yogi.
“Mas Yogi telah baikan?” Cak bertanya Ifa cemas.
“Iya, aku sudah bukan barang apa-apa Fa, ia tidur saja di kamarmu. Aku sungguh bukan apa-segala apa, kamu besok suka-suka praktek pagi cerek? sebaiknya kamu istirahat saja, Fa.”
“Syukurlah takdirnya Mas Yogi sudah baikan. Okey, Ifa mulai besok praktek di RST, Mas, tempat Ifa praktek lokasinya enggak jauh mulai sejak sini.”
“Iya, istirahat tetapi Fa. Esok engkau malah yang sakit.”
“Iya Mas.” Ifa memungut sejumlah bukunya habis melangkah keluar kamar Yogi. Enggak berapa lama Ifa masuk lagi mengapalkan segelas susu coklat, dan membuat Yogi keheranan. “Lho kenapa Fa?” tanya Yogi yang baru semata-mata akan kembali membaringkan tubuhnya.
“Ifa nggak tega aja. Ini Ifa tinggalkan tetek coklat sekelas roti ya Mas, siapatahu Mas Yogi lapar.” Ifa mengedrop segelas susu coklat dan roti itu sebelum juga ke intern kamarnya, doang ketika Ifa mutakadim ki berjebah di ambang gerbang, beliau melongok, “Sekiranya Mas Yogi butuh apa-apa, panggil Ifa ya Mas.” Yogi Ifa yang melangkah kian menjauh meninggalkan kamarnya kemudian melihat segelas susu coklat yang di letakkan Ifa. Yogi menjumut kaca itu, engkau tersenyum dan langsung meminumnya sampai habis.
***
Keesokan harinya, Yogi ditemani Dani berobat ke RST (Kondominium Sakit Tentara) yang tak jauh dari pondokan mereka.
“Nomer antrian berapa aku, Dan?” Tanya Yogi.
“Nomer 41 Gi, masih lama. Ini bau kencur hingga nomer antrian 23,” ujar Dani sambil memerlihatkan kertas antrian Yogi. Mereka berdua duduk di ira tunggu depan poli umum.
“Lama amat ya Dan, aku udah laper nih. Ke kantin lalu aja yuk Dan,” ajak Yogi.
“Iya Gi, paling kecil juga beliau masih lama di panggilnya,” Dani menimbangi. Telepon seluler hoki Yogi berdering.
“Sekilas ya Dan, aku terima teleponnya Renita dulu.” Sekitar 6 menit Yogi menelpon kemudian mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon. Wajah Yogi suntuk, Dani sudah dapat menebak apa yang terjadi.
“Terserah barang apa sekali lagi sih Gi? Perasaan, kamu ama Renita ribut mulu,” ujar Dani selepas Yogi radu menelpon.
“Iya Dan, Renita minta di jemput waktu ini juga.” Yogi menyeret kekesalan di wajahnya.
“Adv amat kamu nggak bilang kalau kamu lagi sakit dan sekarang lagi berobat?” Dani sewot.
“Udah Dan, tapi Renita bilang_ah paling cuman masuk angin biasa.”
“Tuh perempuan, manusia maupun monster sih, perasaan tiap hari kerjanya nggak jauh-jauh dari dua kata ini, jika nggak marah ya ngambek, ah, aku deh nan rasanya pengen marah,” kata Dani kesal melihat sahabatnya di perlakukan seenaknya sekelas Renita.
“Kenapa nggak ia putusin aja sih Gi?”
“Hmm, aku kasihan Dan.”
“Kasihan?? Kamu sebenarnya rajin atau nggak sih?” Pertanyaan Dani.
“Entahlah Dan, seperti apa sih cinta itu? setahuku, sekiranya aku suka sama upik, aku tembak, jadian deh. Begitu ada keburukan yaudah kutung.”
“Yogi, Payah lu Gi, cinta itu ya tidak begitu. Cinta itu, ketika kamu bertemu semata-mata ada desiran lembut di lubuk hati terdalam, merasakan keberadaannya belaka rasanya dag-dig-dug, apalagi silih beragah mata rasanya anda ingin menyentuhnya tapi sira sekali lagi dapat salah tingkah dan rikuh saat menatap mata seseorang engkau cintai. Ah lejar kamu Gi!”
“Tau ah gelap, aku sudah laper. Ka warung kopi RST adv amat silakan Dan,” jakal Yogi. Dua pemuda itu sekali lagi melangkah ke sebelah restoran melewati bangsal anak.
“Gi, itu sepertinya Dek Ifa?” angkat tangan Dani lega seorang wanita berbalut jas dokter yang melanglang ke arah mereka.
“Iya, itu Ifa.” Yogi tak nongkrong menatap Ifa yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. Anda merasakan degub jantungnya berdetik tak harmonis, ada apa ini, kenapa hatiku jadi…
“Dek Ifa keren banget ya pakai jas putih,” decak kagum Dani. “Gi, kamu tiap hari serumah dengan Dek Ifa, nggak suka-suka ingatan apa-segala apa gitu?” Dani menoleh ke Yogi yang mematung.
Yogi balas memandang Dani, “Hmm, cak semau perasaan Dan, ya sebatas perasaan kakak dengan adiknya. Apalagi Ifa sebatang kara, aku merasakan sesuatu akan itu, tapi aku pikir itu perasaan sendiri kakak. Aku berkeinginan setelah aku dan Ifa berpisah, dia mendapatkan seseorang yang lebih baik, Ifa itu anak yang baik, Dan.”
“Sekiranya gitu, ikhlaskan kalau Ifa sama aku Gi, hahahaa,” canda Dani.
“Ah, ogah kalau ama kamu Dan, hahaa,” balas Yogi.
“Hei, Mas Yogi, Mas Dani. Udah berpokok tadi ya disini?” Cak bertanya Ifa yang menghampiri mereka.
“Lagi nunggu antrian Dek,” sebut Dani.
“Sira praktek disini ya Fa?” Pertanyaan Yogi.
“Iya mas, Ifa di bangsal anak…,” Ifa mesem. Bukan lama terserah koteng ibu ke sebelah Ifa.
“Medikus, infus anak saya apa sudah bisa di magfirah?” Ibu bertubuh jangkung itu bertanya pada Ifa.
“Tunggu dokter Hery dulu ya Bu, tapi saya ingin lihat dulu keadaannya ya. Soalnya dokter Hery pula di ruang operasi,” jawab Ifa.
“Mas Yogi, Mas Dani, Ifa tinggal dulu ya,” pamit Ifa kemudian memencilkan bersama ibu tadi ke bangsal anak. Lagi-kembali Yogi menatap kepergian Ifa. Bayangan punggung Ifa goyang pinggul-nari dipikiran Yogi, sinar matanya mengambang tengah asik dalam batinnya belaka Ifa tiba-tiba berbalik dan membuat Yogi terkesiap.
“Mas Yogi, cepat sembuh ya!” teriak Ifa sembari mengacungkan jempolnya dan mesem nan menurut Yogi senyuman itu sangat manis. Yogi terkesima. Berhubungan
EDISI Pola ada di ki akal Kisahan Lembah Hijau 2
Pemesanan langsung ke:
Penerbit Harfeey Yogyakarta
ketik : judul buku_nama&bahan sempurna
sms ke : 081904162092
Kisah Lembah Hijau 2 Hitam Diatas Putih
Source: http://bungarosaniaindah.blogspot.com/2014/12/kisah-lembah-hijau-2-hitam-diatas-putih.html